Moderatisme: Antara Tradisi dan Modernitas

Seiring dengan munculnya gelombang pembaruan pemikiran Islam di Timur Tengah pada awal abad ke-19 Masehi, Asia Tenggara juga memasuki gelombang tersebut. Muhammadiyah merupakan salah satu dari ormas Islam yang menerima ide-ide pembaruan tersebut. Modernisasi pendidikan dengan cara mengadopsi model pendidikan Barat adalah salah satu dari produk gerakan pembaruan Muhammadiyah.

Karena itu, Muhammadiyah disebut sebagai kelompok modernis, yakni kelompok yang mempromosikan pembaruan Islam dengan cara mengadopsi modernitas Barat.

Kategori Gerakan

Fazlur Rahman berpandangan bahwa sejarah gerakan pembaruan Islam selama dua abad terakhir dapat dibagi ke dalam empat gerakan pemikiran: (1) Gerakan revivalis, yaitu gerakan Wahabiyah di Arab, Sanusiyyah di Afrika Utara, dan Fulaniyah di Afrika Barat, (2) Gerakan Modernis, yang dipelopori oleh sayyid Ahmad Khan di India, di seluruh Timur Tengah oleh Jamaludin al-Afghani, dan di Mesir oleh Muhammad Abduh, (3) Neo-Revivalis, yang ‘modern’ namun agak reaksioner, di mana al-Maududi beserta kelompok Jama’at Islami-nya di Pakistan merupakan contoh terbaik, dan terakhir (4) Neo-Modernis (1979). Fazlur rahman sendiri mengategorikan dirinya ke dalam sayap Neo-Modernisme, sebab yang disebut terakhir ini melakukan sintesis progresif dari rasionalitas modern dengan ijtihad tradisi klasik.

Berbeda sedikit dengan Rahman, Ahmad Baso, peneliti muda dari Lakpesdam NU membagi gerakan pembaruan Islam dalam enam kelompok, empat kelompok yang pertama sama dengan Rahman, selebihnya yaitu (5) Islam Liberal, dan terakhir (6) Islam Post-Tradisional (2000: 24-46). Dalam penglihatan Baso, Islam Liberal tidak berbeda dengan Islam Neo Modernis. Sedangkan “Islam Post-Tradisional” merupakan istilah yang diberikan Baso hasil pembacaannya atas pemikiran-pemikiran pembaruan Timur Tengah kontemporer semacam Muhamad Abed al-Jabiri, Abu Zayd, dan lain-lain. Aliran ini melakukan kritik epistemologis terhadap tradisionalisme Islam, yang menjadikan tradisi atau hasil pemikiran ulama-ulama periode klasik—terutama yang bermazhab Syafi’i dan Asy’ari—sebagai rujukan dalam menilai dan merespon problem sosial, sekaligus memperbaiki kelemahan dari Islam Neo-Modernis.

Gerakan pembaruan pemikiran di Asia Tenggara, utamanya di Indonesia, seperti yang tergambar dalam penjelasan di atas berangkat dari bagaimana memosisikan diri dalam merespon problem modernitas. Dengan kata lain, umat Islam dihadapkan pada persoalan bagaimana memosisikan tradisi, modernitas, dan konteks? Jika sayap Revivalis dan Neo-Revivalis cenderung merespon modernitas secara negatif, maka Islam Modernis, Neo-Modernis, Islib, dan Post-Tradisionalis meresponnya secara positif. Perbedaan pada masing-masing sayap pemikiran tersebut terletak pada entry point dan landasannya, sehingga masing-masing memperlihatkan kadar genuinitas dan kekhasannya masing-masing. Sedangkan output-nya tidak terlalu berbeda.

Islam Transformatif

Justru yang menarik adalah gerakan pemikiran Islam Transformatif yang diperkenalkan oleh Moeslim Abdurrahman. Gerakan yang mengalami penyegaran kembali melalui Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) ini, merepresentasikan mazhab kritis terhadap modernitas, di mana teori-teori sosial kritis itu dipinjam dari Barat juga. Penggunaan teori-teori sosial kritis yang digabungkan dengan hermeneutika teks dan sosial itu, digunakan sebagai pisau analisa dalam mendialogkan doktrin Islam dengan problem modernitas. Hasilnya, Islam Transformatif lebih menyuarakan kepentingan kelompok yang termarjinalkan dan teraniaya akibat modernisasi, ketimbang mempromosikan modernisasi.

Terlepas dari ciri khas dan perbedaan gerakan pemikiran masing-masing—Islam Modernis, Neo-Modernis, Islam Liberal, Post-Tradisionalis, dan Islam Transformatif—semuanya mempromosikan moderatisme Islam, yakni mediasi dari ektrimisme Islam revivalis atau fundamentalis dengan sekularisme. Moderatisme menjadi karakter umum yang memayungi gerakan Islam progresif. Tradisi dan modernitas tidak diletakkan dalam dua kutub yang saling berlawanan dan bermusuhan. Keduanya ditempatkan pada porsinya masing-masing, lalu didialogkan secara elegan. Kadar tradisi dan modernitas pada masing-masing gerakan pemikiran itu memiliki perbedaan, yang pasti pertemuan tradisi dan modernitas mengandung makna mendialogkan dua peradaban.(CMM) http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=P4559_0_3_0_C 

Tinggalkan komentar